Sastrawan Sa’adi: khutbah jumat agar diisi dengan ilmu-ilmu yang lebih berguna.

Posted by Khutbah Jumat on Friday, March 27, 2015

Sastrawan Sa’adi: khutbah jumat agar diisi dengan ilmu-ilmu yang lebih berguna.
Sastrawan Sa’adi: khutbah jumat agar diisi dengan ilmu-ilmu yang lebih berguna.
Sastrawan Sa’adi: khutbah jumat agar diisi dengan ilmu-ilmu yang lebih berguna.. Siapakah orang yang dinilai paling berjasa terhadap bangsa dan negara? Di banyak negara, termasuk di Indonesia, mereka adalah para pejuang kemerdekaan. Atau mereka yang dianggap telah ikut ambil bagian dalam pendidirian negara. Mereka ini sering disebut sebagai telah berjasa. Mereka pun dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.

Lalu di manakah tempat para  ilmuwan, sastrawan, seniman, dan ulama?  Ketika berada  di Iran, saya senang mengamati makam. Ya, makam ulama, makam sastrawan, makam ilmuwan, dan juga makam para seniman. Makam mereka berbeda-beda dan mungkin ada tingkatannya. Tempat dan bangunan makam menunjukkan derajat mereka.

Ketika berkunjung ke Masjid Soleh bin Musa al Kadzim di kawasan Tajrisy, utara Teheran, saya melihat ada dua makam baru. Makam itu terletak persis di depan pintu gerbang masjid, dikijing dengan marmer. Di atas pusara terdapat bunga-bunga segar. Tertulis pada masing-masing nisan atas nama Majid Shahriari dan Darioush Rezaeinejad.

Kedua orang ini ternyata ilmuwan nuklir Iran.Rezaeinejad ditembak mati oleh seorang pengendara sepeda motor pada Juli 2011. Sedangkan Shahriari dibunuh dalam serangan bom teroris di Teheran pada November tahun lalu. Mereka kemudian   dianggap sebagai pahlawan dan berhak dimakamkan di tempat terhormat ini.

Di Iran, ternyata tidak ada yang namanya Taman Makam Pahlawan. ‘Orang-orang terhormat’, termasuk Soleh Musa al Kadzim, dimakamkan di kompleks masjid. Alasannya, agar masyarakat mudah berziarah dan mendoakan mereka.

Masjid Soleh Musa al Kadzim sangat megah. Dalam masjid terdapat ruangan-ruangan yang saling tersambung. Makam al Kadzim menempati satu ruangan besar. Dindingnya dihias dengan kaligrafi yang indah. Plafonnya tertutup lampu-lampu kristal putih dan hijau muda. Makam al Kadzim sendiri berada di tengah ruangan, dibalut dengan bangunan kotak empat persegi panjang, dengan dinding kisi-kisi besi berlapis emas.

Di ruang lain yang lebih sederhana, saya melihat ada beberapa makam lain. Bisa dua, tiga, empat makam atau lebih. Di sinilah tempat peristirahatan terakhir ‘orang-orang berjasa’. Bisa ulama, ilmuwan, presiden, dan menteri, termasuk dua ilmuwan nuklir tadi. Makam-makam itu ada yang berbentuk kijing atau hanya tulisan di lantai dan dinding yang menandakan seseorang tokoh telah dimakamkan di sini. Semua ruang-ruang makam ini terpisah dengan ruang shalat masjid.

Melihat makam-makam di Iran, maka akan bisa diketahui derajat seseorang. Yang paling tinggi tentu Imam Dua Belas, sesuai dengan kepercayaan masyarakat Iran. Berikutnya keluarga mereka. Lalu pemimpin Revolusi Islam Iran Imam Khomeini, para ayatullah, ulama/ilmuwan, presiden, dan menteri.

Soleh Musa al Kadzim adalah saudara Ali Ridha dan putra Musa al Kadzim. Ali Ridha adalah imam kedelapan dan Musa al Kazim adalah imam ketujuh. Karena itu bisa dimaklumi bila makam Soleh al Kadzim sangat megah. Namun, masih kalah megah dengan makam Ali Ridha di Kota Mashhad.

Lalu di nama posisi para sastrawan? Dalam kunjungan ke Shiraz -- Ibu Kota Provinsi Fars yang terletak di barat daya Iran -- beberapa tahun lalu, saya pernah ke makam dua sastrawan besar Iran: Sa’adi dan Hafiz. Sa’adi -- Abu Muhammad Muslih al Din bin Abdullah Shirazi – memang telah wafat lebih dari 700 tahun lalu (1184-1283), namun karya-karyanya masih hidup hingga kini.Puisi-puisinya terus dibacakan silih berganti oleh para pengunjung makamnya, siang dan malam.

Sejak muda Sa’adi sudah harus mengembara untuk menghindari invasi Mongol. Hampir separoh hidupnya lalu ia habiskan untuk menjelajahi Suriah, Turki, Mesir, Mekah, Madinah, India, dan kawasan lainnya. Ia berguru ke berbagai ulama.

Orang-orang kecil menjadi perhatiannya. Ia bisa berjam-jam nongkrong di warung kopi, ngobrol dengan pedagang, petani, guru, pengelana, pencuri, dan kaum sufi. Selama itu pula ia tak henti-hentinya untuk berkhutbah, menasihati masyarakat, menuntut ilmu, dan memperbaiki khutbah jumat para khatib Jumat agar diisi dengan ilmu-ilmu yang lebih berguna.

Ketenaran Sa’adi di kampung halamannya tampaknya telah mendahului kedatangannya. Karena itu, ketika ia pulang kampung di usia tua, penduduk kota pun mengelu-elukannya.

Pemakaman Sa’adi hingga kini tak pernah sepi. Terletak di lokasi seluas dua kali lapangan sepak bola, pemakaman Sa’adi adalah puisi. Puisi dari kumpulan  dua karyanya yang monumental: Bostan dan Golistan.

Bostan berarti taman. Golistan bermakna mawar merah. Bostan ia rampungkan pada 1257, ketika ia sudah pulang kampung. Golistan ia tulis setahun kemudian. Ya, pemakaman Sa’adi kini berupa taman yang didominasi mawar merah. Taman yang di sana-sini ditingkahi pohon-pohon tinggi, burung-burung berkicau sepanjang hari, dan suara gemericik air dari kolam dan sungai kecil yang indah.

Dari kejauhan puisi-puisi Sa’adi terdengar sayup. Puisi-puisi yang dibacakan silih berganti oleh anak-anak sekolah, mahasiswa, sastrawan, seniman, dan masyarakat yang sedang berziarah. Puisi-puisi dari ‘Bostan’ berkisah tentang sikap adil, rendah hati, tidak tamak, dan tidak sombong yang harus dipunyai oleh setiap Muslim. Juga prosa dan puisi-puisi pendek dalam ‘Golestan yang mengandung nasihat dan lelucon dari Sa’adi.

Makam Sa’adi sendiri berada di sebuah paviliun dengan atap kubah. Dindingnya dihias dengan kaligrafi puisi-puisi Sa’adi. Di bangunan lain di sebelahnya, yang terbuka ke taman, adalah tempat santai masyarakat membacakan puisi-puisinya.

Di tempt terpisah, masih di Shiraz, juga terdengar pembacaan puisi-puisi dari pujangga besar lain yang dimiliki oleh Iran. Meskipun pujangga ini sangat memuja kebahagiaan karena cinta dan anggur, namun ia membenci kemunafikan.

‘‘Para pengkhutbah yang memamerkan kesalehan mereka saat bersembahyang dan berkhutbah, justeru bertingkah laku sangat berbeda ketika mereka sendirian,’’  kata sang pujangga melalui mulut seorang peziarah. Sa’adi pun mempertanyakan, ‘‘Mengapa mereka yang menuntut orang untuk bertobat malah paling tidak bertobat?’’

Saya tidak tahu, kepada siapa kritik itu diarahkan. Namun, yang jelas apa yang ia sampaikan lebih dari  600 tahun lalu itu tetap relevan untuk kita camkan kini, terutama oleh para pejabat negeri yang perbuatannya berbeda dengan perkataannya sendiri. Pujangga besar ini bernama Khawaja Syamsuddin Muhammad Hafez Shirazi. Hafez panggilan populernya.

Kompleks pemakaman Hafez pun tidak kalah romantisnya. Makamnya terletak persis di tengah taman seluas sekitar 19 ribu meter persegi. Pohon-pohon yang tumbuh rimbun. Bunga-bungat yang tertata rapi. Air jernih yang mengalir dan menimbulkan suara gemericik. Burung-burung berkicau. Semua itu ikut mengiringi pembacaan karya-karya Hafez yang dilantunkan silih berganti oleh para peziarahnya.

Iran tentu tidak hanya mempunyai Sa’adi dan Hafez. Negara ini masih memiliki puluhan atau bahkan ratusan sastrawan dan ulama besar lainnya. Ada Hakim Abu Qasim Ferdausi dan Abu Hamis Muhammad bin Muhammad al Ghazali/Imam Ghazali sekadar menyebut contoh. Hampir seluruh kompleks pemakaman para ulama dan sastrawan itu terpelihara rapi.

Saya pun berpikir, bila surga  digambarkan sebagai taman indah di mana ada sungai yang airnya mengalir jernih, maka pemakaman para sastrawan besar Iran bisa jadi bikin iri hati. Kalaupun boleh memilih, saya pun ingin dimakamkan seperti  Sa’adi dan Hafez. Wallahu a’lam.

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/15/03/22/nllnk1-makam-sastrawan-iran-yang-bikin-iri-hati / Sastrawan Sa’adi: khutbah jumat agar diisi dengan ilmu-ilmu yang lebih berguna.

Khutbah Jumat MK
Khutbah Jumat MKUpdated: Friday, March 27, 2015

0 comments:

Post a Comment

Silakan memberi komentar dan masukan atas Materi Teks Makalah Naskah Contoh Khutbah Jumat Singkat ini.

iklan

Subscribe via Email
iklan